Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri pertemuan musim semi atau spring meeting IMF-World Bank 2023 antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 di Amerika Serikat.
Dari hasil pertemuan yang berakhir pada Kamis (13/4/2023) kemarin, dia mengungkapkan kabar kurang mengenakkan terkait kondisi ekonomi global di tahun ini.
“Pertemuan G20 menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang kedua ini di bawah Presidensi India menjelaskan pada sesi pertama mengenai perkembangan ekonomi global dan terutama kondisi yang tidak terlalu baik,” ungkap Sri Mulyani melalui akun instagramnya, dikutip Senin (17/4/2023).
Ia menilai, pergerakan ekonomi global pada tahun ini akan jauh lebih lemah dari pertumbuhan ekonomi tahun 2022 dan inflasi masih akan menjadi momok bagi banyak negara di dunia.
“Perekonomian dunia tahun ini akan jauh melemah dan juga inflasi masih menjadi tantangan di berbagai negara. Ini kemudian menyebabkan kebijakan moneter yaitu kenaikan suku bunga dan juga pengetatan likuiditas. Ini akan mengancam pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya.
Kabar ini, senada dengan proyeksi terbaru IMF yang dirilis pekan lalu. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan berada pada kisaran di bawah 3%. Dengan perkiraan pertumbuhan PDB riil global sebesar 2,8% untuk 2023 dan 3% untuk 2024, turun tajam dari pertumbuhan yang terjadi 3,4% pada 2022.
Lantas, bagaimana halnya dengan kawasan Asia dan Pasifik?
Director Asia-Pacific Department IMF Krishna Srinivasan mengungkapkan bahwa Asia dan Pasifik tetap menjadi kawasan yang dinamis meskipun dilatarbelakangi oleh apa yang tampaknya akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian dunia.
“Pertumbuhan global siap melambat karena kenaikan suku bunga dan perang Rusia di Ukraina membebani aktivitas. Inflasi tetap tinggi, dan tekanan perbankan di Amerika Serikat dan Eropa telah menyuntikkan ketidakpastian yang lebih besar ke lanskap ekonomi yang sudah kompleks,” paparnya dalam konferensi pers, dikutip Senin (17/4/2023).
Dia melihat permintaan domestik Asia sejauh ini tetap kuat meskipun ada pengetatan moneter, sementara selera eksternal untuk produk teknologi dan ekspor lainnya melemah.
“Kami memproyeksikan kawasan ini akan memberikan kontribusi lebih dari 70 persen pertumbuhan global tahun ini karena perluasannya meningkat menjadi 4,6 persen dari 3,8 persen tahun lalu,” paparnya.
Pembukaan kembali China akan memberikan momentum baru. Biasanya efek terkuat berasal dari permintaan barang investasi di China, namun kali ini efek terbesar berasal dari permintaan konsumsi.
Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa negara-negara berkembang lainnya di kawasan ini berada di jalur yang tepat untuk menikmati pertumbuhan yang solid, meskipun dalam beberapa kasus dengan tingkat yang sedikit lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Khusus untuk Indonesia, IMF memutuskan mengembalikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 5% pada 2023, setelah sebelumnya dipangkas menjadi 4,8%. Pada Januari 2023, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia dari 5% menjadi 4,8%.
Revisi ke atas ini dimungkinkan dengan adanya pembukaan kembali China. Kebijakan Tiongkok membuka perbatasan dan melonggarkan kebijakan Covid-19 diperkirakan akan berdampak besar ke ekonomi negara-negara Asia, seperti Indonesia.
“China menyerap seperempat ekspor Asia. Reopening China dan pertumbuhan ekonomi China akan memicu dampak positif ke kawasan tersebut. Dampak lebih besar akan dirasakan oleh negara yang memiliki hubungan ekspor dan industri wisata dengan China,” ungkap laporan IMF.