Pemerintahan Netanyahu Goyah, Warga Israel Hilang Kepercayaan

Warga Israel kembali melakukan demonstrasi di ibu kota negara itu, Tel Aviv, sejak Sabtu (15/4). (AFP via Getty Images/JACK GUEZ)

ituasi Israel memanas. Hal ini dipicu perubahan yudisial yang diusulkan pemerintah, sehingga menimbulkan pertarungan sengit dan demonstrasi besar-besaran di Negara Yahudi tersebut.

Situasi ini dimulai sejak Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali menjabat pada Desember 2022 lalu. Ia berada di pucuk pimpinan koalisi partai-partai konservatif dan religius yang membentuk pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah negara itu.

Namun muncul masalah dalam pemerintahan baru tersebut, di mana koalisi Netanyahu mendesak reformasi yudisial, yang akan membatasi kemampuan Mahkamah Agung yang kuat untuk membatalkan undang-undang dan memberi politisi kontrol lebih besar atas penunjukan hakim.

Sebagai informasi, Israel tidak memiliki konstitusi formal atau kamar legislatif kedua, sehingga pengadilan memainkan peran yang besar dalam kehidupan publik.

Ketakutan akan kemunduran demokrasi telah memicu gerakan protes terbesar Israel sejak undang-undang tersebut diperkenalkan pada Januari 2023. Ratusan ribu masyarakat yang biasanya sangat terpolarisasi telah turun ke jalan setiap minggu untuk menentang “kudeta yudisial”.

Demonstrasi dan pemogokan besar-besaran di seluruh negeri akhirnya memaksa Netanyahu untuk mengumumkan jeda dalam pemeriksaan yudisial sampai Knesset berkumpul kembali.

Simcha Rothman, anggota Knesset (legislatif) untuk partai Zionis Religius sayap kanan dan memimpin komite konstitusi, keadilan dan hukum, bersama dengan menteri kehakiman, Yariv Levi, menjadi salah satu yang memelopori proposal yudisial tersebut.

Rothman mengakui bahwa protes besar-besaran masyarakat mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

“Saat Anda menelusuri, protesnya adalah tentang… ketidakpercayaan pada pemerintah,” kata Rothman, mengutip The Guardian, Senin (17/4/2023).

“Banyak dari orang-orang ini, mereka bukanlah ahli teori konspirasi. Mereka tahu ada kebutuhan untuk perubahan, tetapi mereka berpikir, ‘Kami tidak mempercayai Anda untuk melakukannya, karena Anda religius dan konservatif, dan perdana menteri memiliki tiga dakwaan’,” tambahnya.

“Pertarungan untuk menjatuhkan pemerintahan ini telah direncanakan dengan baik, dan jika bukan reformasi, itu akan menjadi masalah lain.”

Rothman telah menghabiskan satu dekade mempersiapkan peran ini membidani perubahan yudisial melalui Knesset. Sebagai seorang pengacara publik dengan pelatihan, dengan gelar master dari Universitas Northwestern di Chicago, dia terlihat sebagai otoritas di persimpangan hukum dan politik di kalangan sayap kanan Israel.

Pria berusia 42 tahun, yang memiliki akar keluarga di Amerika Serikat ini telah lama menyatakan bahwa Mahkamah Agung negara itu memiliki bias sayap kiri. Ia juga menyebut putusan tahun 1995 yang memungkinkan pengadilan untuk membatalkan undang-undang Knesset memberikan kekuasaan yang tidak terkendali kepada hakim yang tidak dipilih.

Rothman sebelumnya mendirikan Gerakan untuk Pemerintahan dan Demokrasi pada tahun 2013 yang bertujuan memulihkan keseimbangan antara cabang legislatif dan yudikatif, dan memasuki Knesset sebagai anggota oposisi pada tahun 2021.

Pada pemilu 2022, catatannya dalam partai menjadi faktor penentu yang membantu Netanyahu kembali menjabat setelah 18 bulan. Kini Rothman memiliki kesempatan untuk mewujudkan visinya tersebut dan bertekad memperjuangkannya meski menimbulkan gejolak di Israel.

Rothman percaya bahwa kritik dan diskusi, tidak peduli seberapa panasnya, baik untuk demokrasi. “Perdebatan seharusnya tidak pernah berakhir. Membayangkan ada yang namanya keputusan akhir tentang masalah sosial … Itulah jalan menuju tirani,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*