Rupiah membukukan kinerja impresif dengan menguat lima pekan beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS), menjelang libur panjang Hari Raya Idul Fitri. Sepanjang pekan lalu rupiah tercatat menguat 1,44% ke Rp 14.695/US$, berada di posisi terkuat sejak Agustus 2022.
Dalam lima pekan, total penguatan rupiah tercatat sebesar 4,9%. Perdagangan di pekan ini hanya akan berlangsung dua hari saja, melihat penguatan tajam rupiah dan sudah memasuki suasana libur Lebaran, tentunya ada risiko rupiah akan terkoreksi. Apalagi jika melihat indeks dolar AS yang rebound sejak Jumat pekan lalu.
Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut menguat 0,54% pada perdagangan Jumat dan berlanjut lagi 0,1% pada Senin (17/4/2023) pagi ini.
Dolar AS mampu bangkit setelah Gubernur The Fed Chirstopher Waller mengatakan meski bank sentral sudah agresif menaikkan suku bunga, tetapi masih belum membuat banyak progress membawa inflasi kembali ke target 2% dan perlu untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi.
Selain itu, Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic mengatakan kebaikan suku bunga 25 basis poin sekali lagi akan membuat The Fed mencapai terminal rate dengan lebih yakin mampu menurunkan inflasi ke target.
Dari dalam negeri, pelaku pasar saat ini menanti data neraca perdagangan yang diperkirakan akan mencetak surplus 35 bulan beruntun.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Maret 2023 sebesar US$ 4,19 miliar.
Surplus neraca dagang kini bisa memberikan sentimen positif ke rupiah, sebab para eksportir mulai tertarik memarkir dolar AS mereka di dalam negeri.
Operasi moneter Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor (DHE) Bank Indonesia (BI) yang mulai menarik tenor jangka panjang. Artinya, dolar AS para eksportir disimpan lebih lama di dalam negeri, yang tentunya bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Berdasarkan data dari Bahana Sekuritas, lelang terbaru yang dilakukan BI pada Selasa kemarin mampu menyerap US$ 19,3 juta. Dari nilai tersebut sebanyak US$ 12,5 juta masuk ke tenor 1 bulan dan US$ 6,8 juta masuk ke tenor 6 bulan.
Dalam 11 lelang yang dilakukan BI sejak awal Maret lalu, berdasarkan catatan Bahana Sekuritas baru kali ini tenor 6 bulan menarik minat eksportir. Bunga yang diberikan untuk tenor ini mencapai 5,35%.
Secara teknikal, rupiah saat ini berada jauh di bawah rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100 dan MA 200 yang tentunya memberikan tenaga rupiah menguat.
Penguatan Mata Uang Garuda semakin terakselerasi setelah sukses menembus level psikologis setelah sukses melewati Rp 15.090/US$ yang sebelumnya menjadi support kuat.
Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Rupiah pada Jumat (14/4/2023) lalu bahkan menembus ke bawah Fib. Retracement 61,8%. Ruang berlanjutnya penguatan tentunya terbuka cukup lebar, tetapi risiko koreksi juga cukup besar.
Sebab, perdagangan rupiah yang disimbolkan USD/IDR ini membentuk pola Hammer. Pola ini merupakan sinyal pembalikan arah.
Selain itu indikator Stochastic pada grafik harian mulai masuk wilayah jenuh jual (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Dengan stochastic masuk wilayah oversold, artinya ada risiko rupiah mengalami koreksi.
Fib. Retracement 61,8% di kisaran Rp 14.730/US$ menjadi resisten terdekat. Jika ditembus, ada risiko rupiah melemah lebih jauh dalam dua hari perdagangan pekan ini.
Sebaliknya, selama bertahan di bawah resisten tersebut, rupiah berpeluang kembali menguat mendekati Rp 14.600/US$.